MENGGUGAH RASA DAN
MENGETUK AKAL
Oleh: Mahmudi*
Judul buku : Segugus Percakapan Cinta di Bawah
Matahari: Antologi Dua Penyair Malaysia-Indonesia
Penulis : Shamsudin Othman dan D. Zawawi Imron
Penerbit : Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : 156 halaman
ISBN : 978-967-460-644-2
Tulisan-tulisan D. Zawawi Imron itu lebih mudah
dirasakan dari pada dipikirkan. Kumpulan sajak-sajaknya yang baru diterbitkan
bersama Shamsudin Othman ini juga menggugah hati nurani pembacanya. Buku ini
akan membuat pembaca trenyuh dan
menangis. Tulisannya bukan berasal dari pemikiran yang berdialektis, namun dari
hati yang paling dalam.
Buku ini merupakan kumpulan puisi karya Shamsudin
Othman dan Zawawi Imron, penyair ternama dua negara, Malaysia dan Indonesia.
Zawawi pernah meraih Hadiah Sastra Asia Tenggara atau South East Asia Write Award 2011. Sementara Shamsudin meraih
penghargaan Hadiah Sastera Johor Darul Takzim IX tahun 2013.
Zawawi Imron memiliki imaji yang kaya dan mengalir
dari alam bawah sadarnya. Ini yang tak dimiliki oleh para penyair lain, termasuk
Shamsudin. Sehingga dengan imaji tersebut, Zawawi selalu dapat membuat hati
pembacanya tersentuh. Dalam puisi Sapiku misalkan, gambar sapi kerapan yang
menjadi sejarah masyarakat Madura dihidupkan oleh Zawawi dalam citra yang baru.
Kebanyakan orang tidak menyangka, di tangan Zawawi, sapi menjadi simbol abadi
masyarakat Madura.
Dalam puisi yang berjudul “Zikir”, Zawawi menggugah
para pembaca dengan sebuah kata: Alif. Kita perlu tahu bahwa simbol alif ini
merupakan simbol ketuhanan yang sempurna. Ketika disuarakan berulang-ulang oleh
Zawawi, alif terdengar dimana-mana. Dalam relung hati yang paling dalam, orang
mengira bahwa pada hakikatnya semesta adalah alif yang terurai.
Di sisi lain, celurit tajam yang konotasinya
cenderung negatif digambarkan oleh Zawawi sebagai kebanggaan tradisi Madura. Simbol
celurit sebagai alat untuk membunuh diganti dengan simbol yang mengangkat
ketajaman akal. Zawawi berpendapat bahwa celurit itu adalah “emas” (hal. 111).
Zawawi kurang tahu persis mengapa sampai menulis
puisi. Namun, setiap ada getaran-getaran dalam dirinya, ia merasa tidak enak
kalau tidak menuliskannya, misalnya ketika dalam perjalanan tidak membawa alat
tulis dan kertas, ia merasa sangat menyesal. Dengan berpuisi, ia merasa lebih
akrab dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan.
Pohon siwalan (tarebung),
sapi, saronen (musik tradisional
Madura), dan laut turut serta mengilhami gubahan-gubahan puisi Zawawi. Fenomena
alam itulah yang membuat Zawawi peka. Hatinya tergerak untuk selalu menuliskan
puisi dengan rasa mendalam. Latar belakang pendidikan yang rendah dan
pengetahuan filsafat yang sepotong-potong turut mempengaruhi syair-syairnya.
Puisi berjudul “Di Bawah Matahari” merupakan gambaran Zawawi terhadap orang
Madura yang sedang naik pohon siwalan. Ia menggambarkan betapa indahnya
pekerjaan masyarakat Madura: di sini
daun-daun siwalan/ adalah kipas yang mengibaskan angin/ bagi kehidupan
(hal. 117).
Salah satu faktor yang membuat puisi Zawawi “enak”
dirasakan adalah ia berpuisi bukan untuk mengejar popularitas dan finansial,
melainkan sebatas mengekspresikan diri dan berkomunikasi. Bahkan Zawawi banyak
meminta nasehat teman-temannya agar tidak terperosok ke dalam dunia popularitas
yang pada hakikatnya tak ada gunanya.
Sastra yang tinggi adalah sastra yang membuka
dirinya kepada hakikat kehidupan. Hakikat kehidupan tidak hanya tertuju pada
dunia semata, namun lebih mengarah pada hubungan vertikal antara manusia dengan
Tuhan. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan dan perjuangan kedua penyair
dalam buku ini, Zawawi Imron dan Shamsudin Othman.
Menurut Zawawi, sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat bagi manusia yang lain. Sebab, manusia yang tidak memberikan manfaat,
ia tidak bernilai. Sebagaimana pernyataan Zawawi dalam judul puisi terakhirnya yang
menggugah rasa, dubur ayam yang
mengeluarkan telur/ lebih mulia dari mulut intelektual/ yang hanya menjanjikan
telur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar