Total Tayangan Halaman

Sabtu, 10 Maret 2018

Radar Madura, 11 Maret 2018



MENGGUGAH RASA DAN MENGETUK AKAL
Oleh: Mahmudi*
                                                                                         
Judul buku         : Segugus Percakapan Cinta di Bawah Matahari: Antologi Dua Penyair Malaysia-Indonesia
Penulis             : Shamsudin Othman dan D. Zawawi Imron
Penerbit          : Pustaka Obor Indonesia
Cetakan           : Pertama, 2017
Tebal               : 156 halaman
ISBN                 : 978-967-460-644-2

Tulisan-tulisan D. Zawawi Imron itu lebih mudah dirasakan dari pada dipikirkan. Kumpulan sajak-sajaknya yang baru diterbitkan bersama Shamsudin Othman ini juga menggugah hati nurani pembacanya. Buku ini akan membuat pembaca trenyuh dan menangis. Tulisannya bukan berasal dari pemikiran yang berdialektis, namun dari hati yang paling dalam.
Buku ini merupakan kumpulan puisi karya Shamsudin Othman dan Zawawi Imron, penyair ternama dua negara, Malaysia dan Indonesia. Zawawi pernah meraih Hadiah Sastra Asia Tenggara atau South East Asia Write Award 2011. Sementara Shamsudin meraih penghargaan Hadiah Sastera Johor Darul Takzim IX tahun 2013.
Kumpulan puisi antar dua negara ini memperlihatkan pertautan antara pemikiran dan perasaan. Berbeda dengan Shamsuddin yang lebih dikenal dengan latar intelektualitasnya, Zawawi menulis penuh dengan perasaan. Sedangkan Shamsudin dalam puisinya cenderung menggunakan simbol ketuhanan dengan nalar intelektualitas tinggi. Ia banyak menulis tentang hubungan antara manusia dan Tuhan. Dalam judul Taman Diri, misalkan, Shamsudin menggunakan kata aku, roh, dan jasad (hal. 11).
Zawawi Imron memiliki imaji yang kaya dan mengalir dari alam bawah sadarnya. Ini yang tak dimiliki oleh para penyair lain, termasuk Shamsudin. Sehingga dengan imaji tersebut, Zawawi selalu dapat membuat hati pembacanya tersentuh. Dalam puisi Sapiku misalkan, gambar sapi kerapan yang menjadi sejarah masyarakat Madura dihidupkan oleh Zawawi dalam citra yang baru. Kebanyakan orang tidak menyangka, di tangan Zawawi, sapi menjadi simbol abadi masyarakat Madura.
Dalam puisi yang berjudul “Zikir”, Zawawi menggugah para pembaca dengan sebuah kata: Alif. Kita perlu tahu bahwa simbol alif ini merupakan simbol ketuhanan yang sempurna. Ketika disuarakan berulang-ulang oleh Zawawi, alif terdengar dimana-mana. Dalam relung hati yang paling dalam, orang mengira bahwa pada hakikatnya semesta adalah alif yang terurai.
Di sisi lain, celurit tajam yang konotasinya cenderung negatif digambarkan oleh Zawawi sebagai kebanggaan tradisi Madura. Simbol celurit sebagai alat untuk membunuh diganti dengan simbol yang mengangkat ketajaman akal. Zawawi berpendapat bahwa celurit itu adalah “emas” (hal. 111).
Zawawi kurang tahu persis mengapa sampai menulis puisi. Namun, setiap ada getaran-getaran dalam dirinya, ia merasa tidak enak kalau tidak menuliskannya, misalnya ketika dalam perjalanan tidak membawa alat tulis dan kertas, ia merasa sangat menyesal. Dengan berpuisi, ia merasa lebih akrab dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan.
Pohon siwalan (tarebung), sapi, saronen (musik tradisional Madura), dan laut turut serta mengilhami gubahan-gubahan puisi Zawawi. Fenomena alam itulah yang membuat Zawawi peka. Hatinya tergerak untuk selalu menuliskan puisi dengan rasa mendalam. Latar belakang pendidikan yang rendah dan pengetahuan filsafat yang sepotong-potong turut mempengaruhi syair-syairnya. Puisi berjudul “Di Bawah Matahari” merupakan gambaran Zawawi terhadap orang Madura yang sedang naik pohon siwalan. Ia menggambarkan betapa indahnya pekerjaan masyarakat Madura: di sini daun-daun siwalan/ adalah kipas yang mengibaskan angin/ bagi kehidupan (hal. 117).
Salah satu faktor yang membuat puisi Zawawi “enak” dirasakan adalah ia berpuisi bukan untuk mengejar popularitas dan finansial, melainkan sebatas mengekspresikan diri dan berkomunikasi. Bahkan Zawawi banyak meminta nasehat teman-temannya agar tidak terperosok ke dalam dunia popularitas yang pada hakikatnya tak ada gunanya.
Sastra yang tinggi adalah sastra yang membuka dirinya kepada hakikat kehidupan. Hakikat kehidupan tidak hanya tertuju pada dunia semata, namun lebih mengarah pada hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan dan perjuangan kedua penyair dalam buku ini, Zawawi Imron dan Shamsudin Othman.
Menurut Zawawi, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Sebab, manusia yang tidak memberikan manfaat, ia tidak bernilai. Sebagaimana pernyataan Zawawi dalam judul puisi terakhirnya yang menggugah rasa, dubur ayam yang mengeluarkan telur/ lebih mulia dari mulut intelektual/ yang hanya menjanjikan telur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar