Judul buku : Dari Membela Tuhan ke Membela
Manusia
Penulis : Aksin Wijaya
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan :
Pertama, Juni 2018
Tebal : xxx + 262 halaman
ISBN : 978-602-441-067-4
Peresensi :
Mahmudi*
DARI NALAR JIHADIS-EKSTRIMIS KE
ISLAM PLURALIS
Buku ini
berangkat dari kegelisahan penulisnya yang sering melihat kekerasan atas nama
agama. Kekerasan itu dinamakan agamaisasi kekerasan. Pelakunya seakan tidak
berdosa dan berharap suatu saat akan mendapatkan surga serta bidadari. Hal itu
sering kita jumpai, misalnya terjadinya bom bunuh diri atas nama agama.
Terjadilah radikalisasi agama yang merajalela di Indonesia.
Disini Aksin berusaha
mengupas secara detail akar dari kekerasan agama tersebut. Buku ini merupakan
penelitian mendalam yang serius terkait nalar kekerasan atas nama agama. Yang
diteliti oleh Aksin adalah akar nalar beragama. Untuk membedah geneologi
kekerasan agama, Aksin membuat pemetaan dengan beberapa kata kunci: Nalar
agama, Nalar pemerintahan, dan Nalar Jihad. Dari ketiga kata kunci tersebut,
Aksin menelusuri tokoh-tokoh yang melahirkan ketiga nalar tersebut. Tokoh
tersebut berasal dari masa Islam klasik hingga Islam modern.
Kaum
Jihadis-Ekstrimis menurut Aksin memiliki nalar agama secara literal-takfiri.
Mereka cenderung berpikir secara oposisi biner. Logika berpikirnya mengandaikan
benar-salah, hitam-putih, dan muslim-kafir. Tidak ada kebenaran jalan ketiga
dalam cara berpikir mereka. Kebenaran adalah tunggal dan monolitik. Bila
pemikiran mereka dianggap benar, maka yang lain divonis salah. Corak pemikiran
ini cenderung radikal, ekstrim dan fundamental sehingga memutuskan sesuatu
dengan kekerasan.
Sedangkan nalar
pemerintahan mereka menurut Aksin bercorak teosentris. Pemahaman mereka terkait
pemerintahan harus berlandaskan Tuhan yang kita kenal dengan teokrasi.
Sementara nalar jihad mereka adalah Jihad
fi Sabilillah. Nalar ini identik dengan membela Tuhan dari pada manusia.
Mereka memaknai kata Jihad dalam al
Qur’an dengan Qital (berperang).
Padahal menurut Aksin, makna Jihad
selalu mengalami pergeseran makna (Shifting
Meaning).
Selanjutnya Aksin
menawarkan cara nalar baru yang lebih memihak manusia. Nalar tersebut dinamakan
nalar antroposentris. Bila nalar teosentris cenderung memahami agama dengan
literal-takfiri, maka nalar antroposentris cenderung membela manusia dengan
memahami agama secara rasional. Nalar ini cenderung melahirkan pemahaman yang
moderat. Nalar ini menurut Aksin sesuai dengan pemahaman keagamaan yang
dimiliki NU dan Muhammadiyah. Sementara nalar literal-takfiri diasosiasikan
pada kelompok HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam).
Ketika
ditelusuri, nalar agama yang moderat-rasional itu dapat ditemukan pada
tokoh-tokoh berikut: Pertama, Sa’id
al Asmawi. Ia bertolak pada dua unsur dalam menalar Islam: metode berpikir
ilmiah dan metode memahami al Qur’an. Kedua,
Haj Hammad. Nalar Islam yang dikembangkan Haj Hammad adalah metode epistemologi
Qur’ani dan filosofis. Ketiga,
Muhammad Syahrur. Nalar Islam yang dimiliki Syahrur adalah rasional-linguist.
Ia menafsirkan al-Qur’an dengan metode kebahasaan dimana ia meyakini bahwa
tidak ada sinonim di dalam bahasa. Ketiga tokoh tersebut memiliki nalar Islam
yang sama, yakni Islam Pluralis. Nalar Islam Pluralis mengandaikan adanya sikap
toleransi antar umat beragama. Sedangkan Nalar pemerintahan ketiga tokoh ini
adalah demokrasi (Syura). Sedangkan Nalar Jihad mereka adalah Membela Manusia
(antroposentris).
Menurut Aksin, Nalar
antroposentris yang diwakili Muslim Pluralis (Syahrur, Asmawi, dan Haj Hammad)
tersebut perlu dikembangkan di Indonesia. Penulis buku ini mengakui bahwa nalar
Islam yang dimilikinya adalah nalar apresiatif-kritis yang sejalan dengan Nalar
Islam Pluralis. Nalar ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh menganggap
pemikiran kita yang paling benar. Namun, kita harus saling menghargai satu sama
lain. Berangkat dari nalar ini, maka akan tercipta toleransi yang sesungguhnya.
Dengan demikian,
sepatutnya nalar Islam Jihadis-Ekstrimis tersebut tidak berkembang di
Indonesia. Sebab, Indonesia telah menganut ideologi Pancasila yang telah final.
Masdar Hilmy, pakar studi keislaman UIN Sunan Ampel mengatakan bahwa kelompok
Islam Jihadis-Ekstrimis sebenarnya adalah kelompok impor yang tidak patut
berkembang di Indonesia. Sebaliknya, visi etis-humanis dalam bernegara perlu
mendapatkan perhatian bersama. Buku ini mengajak kita untuk hidup saling
menghargai, empati, dan toleran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar