URGENSI KEADILAN BERSAMA
YANG-LAIN
Judul buku : Mencari Keadilan Bersama Yang-Lain:
Pandangan Etis-Politis Emmanuel Levinas
Penulis : David Tobing
Penerbit : Cantrik Pustaka
Cetakan : Pertama, Agustus 2018
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-602-6645-87-6
Peresensi : Mahmudi*
Saat ini
kita hidup dipengaruhi oleh paradigma egologi yang sangat tinggi. Paradigma
egologi adalah suatu kehidupan yang lebih mengedapankan ego diri dan kesuksesan
tinggi tanpa menghargai Yang Lain. Paradigma egologi ini menyebabkan manusia
mengalami keterasingan, depresi, dan ketegangan hidup yang tak terkendali.
Pada
situasi politik saat ini, tentu paradigma egologi sangat tidak diharapkan
terjadi. Sebab, politik seperti itu akan menyebabkan manusia saling sikut kanan
kiri, tanpa menghargai orang lain. Yang ada hanyalah kesuskesan, kekuasaan, dan
kebrutalan politik tanpa kompromi. Kasus Ratna Serumpaet salah satu bukti
ketegangan politik yang merajalela di Indonesia.
Buku
yang ditulis David Tobing ini menghadirkan kontribusi pemikiran yang nyata
terkait bagaimana seharusnya manusia hidup berdampingan dengan Yang Lain. David
Tobing membidik pemikiran Levinas untuk diambil saripatinya dalam merumuskan
prinsip hidup di dunia ini. Buku ini sangat relevan di tengah situasi politik
yang tidak menentu di Indonesia.
Menurut
Levinas sebagaimana disinyalir Tobing, manusia hidup di dunia tidak hanya
berhenti di ego diri dan rasionalitas dirinya saja. Namun, manusia hidup
sejatinya berdampingan dengan Yang Lain. Pertanyaannya, mana yang diprioritaskan
antara dirinya dengan Yang Lain? Dalam perspektif Levinas, Yang Lain atau orang
lain harus lebih didahulukan ketimbang diri kita sendiri. Levinas menyebutnya
dengan gerak tanggung jawab antar sesama. Buku karya Levinas, Totality and Infinity merupakan buku
primer yang dibedah oleh Tobing dalam menganalisa kehidupan manusia.
Ketika
berpikir secara Totality, maka yang
ada semua manusia dianggap benda lain yang harus tunduk di bawah pikirannya, di
bawah kendali yang berpikir. Paradigma ini dipakai oleh Barat dalam memandang
Timur. Menurut Levinas ini bukanlah sebuah keadilan. Ini tidak etis. Yang etis
adalah ketika semua disetarakan. Antara aku yang berpikir dengan Yang Lain yang
berada di luar dirinya. Prinsip kesetaraan berpikir tersebut oleh Levinas
disebut Infinity. Inilah prinsip
etika yang dikedepankan oleh Tobing dalam bukunya ini.
Gerak
dari Totality ke Infinity menyebabkan peralihan dari momen egois ke momen etis. Dari
yang awalnya manusia hanya memikirkan dirinya ke memikirkan nasib orang lain di
luar dirinya. David
Tobing menulis: “Momen yang etis mengandung dua makna:
pertama, momen yang etis adalah momen Yang- Lain menggugah Yang –Sama (Aku).
Kedua, momen yang etis adalah momen pemilihan sang Aku sebagai pengada yang
bertanggung jawab tanpa batas kepada yang lain” (hal. 93).
Pada prinsipnya, manusia harus lebih
mengutamakan orang lain ketimbang dirinya. Hal ini sepatutnya kita dapatkan
pada konstelasi politik Indonesia. Sebab, carut marut dunia politik tidak lepas
dari kehendak berkuasa para aktor yang seakan menegasikan orang lain di luar
dirinya. Bila hal ini tetap terjadi, maka tunggulah kehancuran bangsa ini.
Dalam
kehidupan politik yang tidak menentu saat ini dimana yang terjadi adalah
egosentris dalam pemenangan kekuasaan, maka buku ini setidaknya memberikan
arahan ke arah kebijakan publik, agar manusia berlaku adil bagi sesamanya.
Inilah yang disebut dengan prinsip etis dalam hidup. Ketika kita memandang
wajah Yang-Lain, kita sebenarnya memandang wajah sendiri yang layak dihormati dan
dilayani dengan setara. Hal ini yang agaknya telah sirna dalam situasi politik
bangsa saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar