Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Juni 2022

Jurnal Suhuf edisi Desember 2021

 

 

Pemahaman terhadap teks Al-Qur’an mengalami perkembangan yang signifikan. Mulai dari era formatif, afirmatif, bahkan sampai pada reformatif yang ditandai dengan subjektivitas yang luar biasa terhadap teks Al-Qur’an (Mustaqim 2010: 51). Era formatif dapat disebut juga dengan generasi salaf yang berpatokan kuat kepada Nabi, sahabat, dan tabi’in. Sementara pada era afirmatif, tafsir lebih bersifat konservatif dan ideologis. Ciri dari era reformatif adalah corak tafsir kontemporer yang sedikitnya banyak mengkritik dan bahkan mendistorsi pemahaman konvensional (Affani 2019: 217). 
Di balik kenyataan tersebut, fenomena radikalisasi agama yang memahami Al-Qur’an secara tekstual menguat dalam konteks Indonesia. Anehnya banyak masyarakat Indonesia yang terpengaruh dan terkontaminasi, serta terpapar indoktrinasi dari adanya radikalisme agama. Hal ini terjadi disebabkan literasi masyarakat Indonesia masih dirasa kurang sehingga penguatan literasi sangat dibutuhkan. Di sisi lain dengan merebaknya isu kekerasan atas nama agama maka akan mengikis persaudaraan antar bangsa (Purnomo 2013: 84).
Pemahaman secara tekstual -di samping ada pengaruh positif apabila mengikut ulama salaf ṣāliḥ-, akan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan psikologi seseorang. Pemahaman tekstual akan menggiring seorang penafsir kepada paham esktrimisme. Hal ini dapat dibuktikan ketika seorang penafsir berparadigma hitam-putih, benar-salah. Artinya tidak ada jalan ketiga dalam pemikiran mereka. Tidak ada pandangan moderat sama sekali.
Telah banyak fakta-fakta atau fenomena sosial yang ada di masyarakat seperti kasus bom bunuh diri atas nama agama. Hal itu didasari dari tafsir tekstual kepada Al-Qur’an, tentu selain itu juga adanya brainstorming dari pihak-pihak tertentu atau indoktrinasi melalui agama. Parahnya terkadang bukan orang yang awam yang kena, tetapi orang pintar yang kadang ilmunya eksakta (Serba pasti).
Maka dari itu, paradigma sunni dapat menjadi alternatif dari adanya radikalisasi agama. Paradigma merupakan semacam cara pandang (world view) yang dimiliki seseorang dalam menghadapi sesuatu. Sedangkan istilah sunni dapat diidentikkan dengan kelompok yang selalu konsisten terhadap tradisi Nabi dan sahabat. Secara teologis, paradigma sunni bersumber pada pemikiran Abū al Ḥasan al-Asy’arī (W. 324/935). Ia hidup pada masa situasi politik yang mengarah pada disintegrasi. Hal ini dapat ditemukan bahwa ada pemberontakan dan kudeta pada masa itu (Amin 2015: 11)
Paradigma sunni merupakan hal yang penting sebab paradigma ini dapat menyelesaikan masalah deadlock. Hal itu terbukti ketika Abū al Ḥasan al-Asy’arī menengahi polemik politik di masanya. Ada tiga kontribusi nyata dari paradigma ini yaitu, sikap tawāsuṭ, tawāzun, dan tasāmuḥ. Ketiga prinsip ini dilakukan oleh Abū al Ḥasan al-Asy’arī ketika menjawab polemik teologis tentang perdebatan perbuatan manusia apakah bersumber dari Tuhan atau dari manusia sendiri. Abū al Ḥasan al-Asy’arī menyelesaikannya dengan teori baru yang disebut dengan al Kasbu (usaha dan ikhtiar).
Pada masa selanjutnya, paradigma sunni masuk ke Nusantara melalui para Walisongo. Hal itu dapat dilacak dari buku yang ditulis oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah. Azra meyakini bahwa para sufi merupakan penyebar Islam ke Nusantara. Hal itu terjadi pada rentang abad 14 dan 15 M. Para sarjana meyakini seperti A.H. Johns, bahwa Islam secara atraktif disebarkan oleh para Walisongo (Azra 2013: 15). Setelah itu, sebagai pendiri NU yang berdiri pada tahun 1926, KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) meneruskan paradigma sunni dari para pendahulu. Baru kemudian paradigma sunni mengakar di Indonesia dan dilanjutkan estafet berikutnya oleh para Ulama dan kiai di Nusantara, diantaranya KH. Ahmad Basyir. Paradigma sunni yang dimiliki oleh KH. Ahmad Basyir merupakan pengejawantahan dari tokoh-tokoh sunni sebelumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar