Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 September 2022

Koran Sindo, 3 September 2022


URGENSI BERAGAMA UNIVERSAL ERA 5.O


Judul buku       : Islam Praksis: Keberislaman yang Aqli, Naqli, dan Tarikhi
Penulis : Ayang Utriza Yakin
Penerbit : Ircisod
Cetakan : September, 2022 
Tebal : 220 halaman 
ISBN : 978-623-5348-14-8
Peresensi : Mahmudi*


Era 5.0 yang ditandai dengan digitalisasi dari semua sektor menantang kehidupan beragama kita. Era ditigal memberikan banyak kemudahan teknologi bagi manusia sehingga secara integral, beragama menjadi semakin kompleks. Dahulu orang beragama ditandai dengan sikap komunalistik namun sekarang beragama bisa dengan duduk manis di rumah sambil melayari laptop. Ini merupakan tantangan terbesar beragama abad ini.
Pada dasarnya beragama dapat dibagi ke dalam dua hal: pertama beragama secara teoretis, sedangkan kedua beragama secara praksis. Secara teoretis berarti, seseorang beragama hanya dikuasai dalam pikiran tanpa dinamika perubahan. Ini cara beragama kaum intelektual yang “berdiri” di menara gading. Sedangkan secara praksis, berarti beragama secara penuh penerapan dan toleran. 
Buku yang ditulis oleh Ayang Utriza ini memberikan sebuah gagasan cemerlang yaitu tentang bagaimana beragama secara praksis. Praksis yang dimaksud dalam buku ini adalah keberislaman yang menggambarkan kesatuan yang utuh antara dimensi akal, hati, dan pergumulan keduanya. Ini merupakan respon Ayang ketika melihat fenomena corak beragama di Indonesia yang bisa dipetakan ke dalam fundamentalis, radikalis, dan normatif. Banyak kasus seperti bom bunuh diri yang itu merupakan akibat dari cara beragama secara harfiah. (hlm. 28)
Cara beragama secara harfiah melahirkan nalar Islam radikal yang ciri pemikirannya adalah hitam-putih dan benar-salah. Tidak ada pemikiran jalan ketiga dalam prinsip mereka. Corak beragama seperti ini berbahaya bagi kedamaian di Indonesia. Maka dari itu, Ayang merasa perlu menggagas Islam Praksis yang ideal di Indonesia yang sepertinya Ayang temukan paradigma itu dalam pemikiran Gus Dur dan Cak Nur. (hlm. 96)
Walaupun buku ini terdiri dari kumpulan berbagai tulisan yang tersebar di beberapa media selama kurang lebih dua dekade, ide segar penulis dapat ditangkap melalui keberislaman, keindonesiaan, dan kesejarahan. Gagasan keberislaman adalah berupa Islam yang lentur, toleran, dan adaptif. Dan hal ini sepertinya sangat relevan di tengah arus digitalisasi di semua sektor. Ini merupakan corak landasan beragama universal-integralistik. Sedangkan pada aspek keindonesiaan, Ayang mencoba masuk pada dimensi hukum yang apabila menerapkan hukum Islam an sich itu tidak relevan di Indonesia sebab, negara ini dinaungi Pancasila. Sebagaimana dipaparkan Afifuddin Muhajir, Pancasila itu sangat islami. Pada aspek kesejarahan, perlu kontekstualisasi local wisdom yang sebenarnya sudah inheren dalam peradaban Nusantara berabad-abad lamanya.
Salah satu kelebihan buku ini adalah kaya akan data-data rujukan yang bisa kita tindaklanjuti untuk dibaca. Ini merupakan ciri tulisan khas kesarjanaan. Buku ini layak dibaca baik kalangan intelektual maupun kaum awam sekaligus karena buku ini mudah dicerna. Namun, buku ini bukanlah hasil dari riset yang utuh, layaknya tesis, disertasi, atau laporan penelitian. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang disunting menjadi gagasan cara beragama yang utuh.
Selain itu, pada bab-bab akhir buku ini, ternyata menyajikan kekayaan tasawuf. Naskah para pengkaji Jalaluddin Rumi yang tertulis dalam bahasa Jawa, menurut Ayang, perlu diperhatikan bahkan diteliti lebih mendalam. (hlm. 15). Sebetulnya ide tentang beragama secara universal dapat diasumsikan sebagai pengaruh dari paradigma berpikir sufistik. Tasawuf merupakan dimensi batin dalam Islam yang berisi kekayaan wacana spiritual. Spiritualitas dalam tasawuf jika dicermati lebih mendalam mengandung aspek esoteris yang itu dapat ditemukan dalam berbagai agama dunia. Mungkin maksud Ayang dengan menyajikan kekayaan data wacana tasawuf itu dapat menginspirasi kita untuk selalu beragama secara toleran, inklusif, dan berpijak pada kedamaian batin.
 Pada akhirnya, ide ini menyambung dengan gagasan para sarjana bahwa para sufi-lah (Walisongo) yang telah menyebarkan secara luas Islam di Nusantara ini. Artinya, paradigma sufistik dapat menaungi corak beragama secara universal. Hal itu dimulai sejak abad ke-16 M. hingga sekarang kita rasakan. Paradigma universal ini yang semestinya cocok dalam kehidupan beragama kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar