Total Tayangan Halaman

Minggu, 25 Februari 2024

Resensi Buku di Sindo News, 26 Februari 2024

 



OTORITAS AGAMA: ANTARA NORMATIF DAN HISTORIS

Judul buku      : What Is Religious Authority? Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah

Penulis            : Ismail Fajrie Alatas 

Penerbit           : Mizan

Cetakan           : Januari 2024

Tebal               : 338 halaman 

ISBN               : 978-602-441-331-6 

Peresensi         : Mahmudi*

 

Banyak orang beranggapan bahwa otoritas agama itu statis dan ahistoris. Seakan-akan ia adalah bersifat absolut dan paten. Tidak bisa berubah dan apabila diibaratkan penggaris, maka sejarah zaman harus mengikuti otoritas agama pada tokoh tertentu. Pemikiran otoritas agama yang seperti ini dikritik oleh Fajrie Alatas sebagaimana tertuang dalam buku ini. Penulis menawarkan cara melihat realitas sosial kemasyarakatan dengan kacamata sosiologis dan antropologis. 

Pada esensinya, realitas sosial itu selalu dinamis, historis, dan berubah-ubah sesuai kecenderungan zaman yang mengikutinya. Salah satu contoh adalah hukum Islam yang mengatur prinsip hidup masyarakat. Misalnya hukum potong tangan pencuri, ini dianggap paten apabila orang pada umumnya meyakini bahwa otoritas agama itu absolut dan tidak bisa berubah. Padahal, dalam hasil riset Fajrie, otoritas agama itu bersifat relasional antara tokoh, teks, dan masa lalu yang mengandung unsur fondasional untuk selalu diikuti. Karena bersifat relasional, maka otoritas agama adalah bergantung pada tokoh yang memiliki perantara antara dunia masa lalu dengan dunia masa kini. Hukum potong tangan itu berlaku di Arab tetapi belum tentu itu cocok di Indonesia. Dengan demikian, maka Fajri dengan buku ini hendak mengatakan bahwa otoritas agama itu tidak absolut dan prinsipnya adalah menjadi (becoming) bukan normatif yang selama ini masih banyak diyakini oleh sebagian orang.

Menurut Fajrie, dalam prinsip otoritas agama, selalu ada perbedaan antara tokoh penyampai di daerah tertentu dengan daerah lain. Misalnya seperti yang ia tulis dalam bagian kedua buku ini, yaitu Pangeran Diponegoro memiliki otoritas agama yang berbeda dengan Sunan Ampel, Ba ‘Alawi, dan tokoh yang lain di mana ia memiliki otoritas dalam agama. Pangeran Diponegoro memiliki versi sunnah yang Fajrie sebut dengan Sufism. (hlm. 19). Ini sama sekali berbeda dengan versi sunnah tokoh otoritatif yang lain. Versi sunnah Pangeran Diponegoro itu unik dan banyak follower di tanah Jawa.

Melalui kerangka pikir yang disodorkan dalam buku ini, Fajrie hendak menyuarakan dinamisasi otoritas agama. Hal ini dimaklumi sebab, ia merupakan sarjana antropologi dan sosiologi, sementara buku ini juga bagian dari hasil penelitian etnografi terhadap Habib Luthfi di Pekalongan.

Yang paling penting dari buku ini juga tentang artikulasi bahwa tokoh yang menghubungkan dari masa lalu ke masa kini itu memiliki artikulasi yang unik yang berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lain. Habib Lutfi di Pekalongan sebagaimana dijelaskan dalam buku ini merupakan tokoh penghubung masa lalu dengan masa kini yang memiliki jamaah tersendiri. Salah satu strategi yang digunakan oleh Habib Luthfi yaitu menggabungkan sunnah masa kenabian dahulu dengan masa kini. Habib Luthfi mendapat inspirasi dari para guru-gurunya yang terkadang menggunakan local wisdom dari pada ajaran agama Islam normatif. (hlm. 148). Ada semacam perpaduan antara kebudayaan lokal dengan Islam normatif yang ada di Arab sehingga jamaah berbondong-bondong mengikuti pengajian Habib Luthfi dengan tanpa paksaan. Artinya mereka melakukannya dengan suka rela.

Salah satu yang perlu diperhatikan juga adanya sikap toleransi dari Habib Luthfi terhadap hiburan malam. (hlm. 242). Ini merupakan artikulasi yang unik dari tokoh penghubung antara masa lalu kenabian (sunnah) dengan masa kini (problem yang dihadapi masyarakat). Sementara para Munshib di Pekalongan bersama Wali Kota merasa geram dengan adanya hiburan malam. Namun di sisi lain, otoritas agama dari Habib Luthfi itu mendapatkan support dari pemerintah sehingga berjalan dengan baik.

Melalui buku ini, Fajrie Alatas hendak mengatakan bahwa Islam diterima dengan baik itu tergantung tokoh yang memiliki artikulasi unik yang dapat diterima oleh masyarakat dengan problemnya masing-masing. Sebuah otoritas agama akan berjalan dengan baik, jika tokoh penghubung masa lalu dan masa kini memiliki kerja artikulasi dengan baik pula. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar