Total Tayangan Halaman

Minggu, 15 Desember 2019

Koran Jakarta, 16 Desember 2019

DINAMIKA HIDUP MAHASISWA DOKTORAL DI AUSTRALIA

Judul buku : Roller Coaster Empat Musim: Lika-Liku Perjalanan Studi Doktoral 
                          Mahasiswa Indonesia di Australia
Penulis : Enung Rostika, dkk.
Penerbit : Writerprenuer  Club, Jakarta
Cetakan : Agustus, 2019
Tebal : 244 halaman
ISBN : 978-602-0780-70-2
Peresensi : Mahmudi*

Kebanyakan orang menyangka bahwa studi doktoral di luar negeri merupakan hal yang menyenangkan. Hal itu disebabkan studi doktoral dianggap barang mewah. Padahal, sejatinya studi S3 di luar negeri bagi sebagian orang adalah hal yang sangat membuat menderita. Hal ini dibuktikan dengan beragam cerita yang dimuat di dalam buku yang berjudul Roller Coaster Empat Musim ini.
Buku ini mengisahkan tentang perjalanan mahasiswa doktoral yang sedang menempuh studi di Australia. Sesuai judulnya, buku ini bercerita tentang dinamika hidup mahasiswa Ph.D yang jatuh bangun dalam meniti karir sebagai akademisi. Sebagian besar mahasiswa Ph. D mengalami tekanan hidup, diantaranya: jauh dari keluarga, konflik dengan supervisor, topik riset yang berubah-ubah, dan sebagainya.



Namun demikian, segala penderitaan tersebut berubah manis ketika mahasiswa telah dinyatakan lulus dari studi doktoral.
Pengalaman pertama ditulis oleh Enung Rostika. Ia mengatakan: di Australia, mahasiswa Ph.D ibarat orang yang sedang naik roller coaster empat musim yang memberikan pengalaman dan sensasi yang berbeda-beda setiap musimnya, sesuai tahapan yang sedang dilalui oleh mahasiswa tersebut. (hal. 25)
Menurut Enung, ketika orang hendak studi di luar negeri, maka yang terpenting adalah mimpi. Mimpi dapat diibaratkan keinginan tinggi yang dapat mengantarkan seseorang meraih prestasi. Mimpi adalah sebuah cita-cita yang dimiliki oleh masing-masing individu. Permasalahannya adalah bagaimana meraih mimpi tersebut. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan aksi nyata. Studi S3 di Australia merupakan mimpi yang jadi kenyataan bagi seorang Enung.
Sedangkan menurut Iwan Awaluddin Yusuf, studi doktoral bukanlah untuk meraih Nobel. Jika cara berpikirnya adalah meraih Nobel, maka cenderung membuat kecewa mahasiswa tersebut, bahkan bisa frustasi. Studi doktoral adalah sebagai wahana untuk memacu nalar berpikir yang benar. Menulis secara sistematis dan logis adalah tujuan dari sekolah S3. Bagaimana mahasiswa menuliskan hasil risetnya dengan baik, itulah realitasnya.
Menurut Iwan, tidak ada perjuangan yang sia-sia, termasuk dalam meraih Ph.D. Setiap usaha pasti membuahkan hasil, cepat atau lambat. Jika sudah terpenuhi, itulah titik awal yang indah untuk meraih capaian berikutnya. Hanya saja, lika-liku hidup harus dilalui ketika sudah berada di luar negeri (hal. 37).
Lain lagi tentang apa yang dialami oleh Ade Dwi Utami. Disamping studi S3, ia merupakan seorang ibu yang harus merawat anaknya dengan baik. Peran seorang ibu tidak bisa dibilang gampang, apalagi sambil belajar. Dwi Utami banyak berkorban demi meraih prestasi kedua-duanya: sebagai ibu dan mahasiswa sekaligus. Memang pada dasarnya, wanita adalah multi tasking yang bisa melakukan banyak pekerjaan dengan konsentrasi yang penuh. Walaupun menjadi ibu, ia tidak pernah menyerah untuk berprestasi di bidang akademik (hal. 108).
Sedangkan yang dialami oleh Desmaizayatri adalah berganti supervisor di beberapa milestones yang harus ia lalui. Hal ini tidak mudah karena terkadang pemikiran supervisor yang satu dengan yang lain itu tidak sama. Untuk itu diperlukan kesiapan fisik, mental, bahkan finansial.
Sedangkan inti selanjutnya bagi mahasiswa Ph.D yang telah meraih gelar doktor adalah selalu menjadi akademisi yang baik. Pendidikan doktor dapat dianggap sebagai langkah awal untuk menjadi peneliti. Ada yang menganggap bahwa setelah pendidikan doktor, mahasiswa sudah tidak perlu belajar lagi. Ini sebetulnya tidak benar. Dari kebanyakan cerita mahasiswa Ph.D Australia di buku ini, mereka terus memotivasi diri untuk berkarya tiada henti.
Buku ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Kesuksesan diraih dengan peluh dan penderitaan yang luar biasa. Anggaplah penderitaan itu sebagai teman hidup. Itulah paradigma mahasiswa S3 yang sedang belajar di luar negeri. Mereka tidak hanya belajar tentang fokus studinya saja, namun mereka juga belajar hidup bagaimana dapat tahan banting ketika ada masalah yang mendera. Buku ini memberikan pelajaran yang berarti bagi kita di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar