Judul buku : Ontosofi Ibnu ‘Arabi
Penulis : Fahmy Farid Purnama
Penerbit : Cantrik Pustaka
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : 340 halaman
ISBN : 978-602-6645-58-6
Peresensi :
Mahmudi*
PARADOKS METAFISIKA KETUHANAN
Metafisika
ketuhanan yang dipelopori oleh Ibnu ‘Arabi telah mempengaruhi banyak akademisi
untuk melakukan kajian terhadapnya. Pakar ilmu keislaman di berbagai belahan
dunia turut serta mengkajinya. Hal itu tidak lepas dari kharisma Ibnu ‘Arabi
sebagai pemikir besar muslim abad pertengahan.
Selain Azhari
Noer, Muhammad al Fayyadl juga melakukan kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Ia meneliti Ibnu ‘Arabi dari perspektif teologi negatif. Ia membantah bahwa
ilmu ketuhanan dapat dijelaskan secara positif-afirmatif. Hal itu dilakukan
oleh para ahli kalam yang dikenal dengan teolog. Menurut Fayyadl, metafisika
ketuhanan tidak dapat dijelaskan secara positif-afirmatif seperti yang
dilakukan oleh para teolog. Tetapi sebaliknya, metafisika ketuhanan dapat
diterangkan melalui cara negatif. Artinya, ibarat orang pasif, kita harus
menunggu untuk memahami Tuhan.
Di Jepang, Toshihiko
Izutsu juga melakukan kajian terhadap Ibnu ‘Arabi. Ia membandingkan paham Wahdatul Wujud dengan prinsip Taoisme.
Hal ini membuktikan kualitas pemikiran Ibnu ‘Arabi yang sangat kental dengan
mistik serta berdimensi supranatural.
Dalam buku ini, Fahmy
Farid Purnama berusaha mengkaji pemikiran Ibnu ‘Arabi dari perspektif lain.
Fahmy berusaha menjelaskan permasalahan metafisika ketuhanan Ibnu ‘Arabi dengan
perspektif fenomenologi. Uniknya, fenomenologi yang diambil oleh Fahmi bukan
bersumber dari Edmund Husserl, namun dari Heidegger. Seperti kita tahu,
fenomenologi Heidegger adalah fenomenologi interpretasi. Dalam metafisika
ketuhanan, hal yang terpenting tentunya adalah pemahaman akan makna “Ada”nya
Tuhan, bukan zat-Nya.
Fahmi
seolah-olah menegaskan bahwa metafisika ketuhanan tidak dapat direngkuh hanya
dengan pemahaman diskursif-teologis. Namun butuh pendekatan fenomenologis.
Inilah gagasan Heidegger yang banyak dilupakan oleh akademisi. Fahmi menggagas
temuan bahwa pemahaman terkait metafisika ketuhanan dapat dipahami dengan Via Paradoxa. Artinya, manusia tidak
akan pernah bisa sampai dengan sempurna terkait pemahaman ketuhanan. Hal itu
mirip dengan problem klasik seputar kapan lebih dulu antara ayam dengan telur.
Ini problem teologis klasik yang tidak pernah sampai ke hakikatnya.
Lalu bagaimana
caranya orang bisa sampai pada metafisika ketuhanan?. Fahmi hanya menjelaskan
dengan menyetujui pendapat Ibnu ‘Arabi yaitu dengan cara Tajalli (penampakan wujud Tuhan pada manusia). Dengan proses Tajalli tersebut, manusia dapat
merengkuh makna Wujud. Bukan kepada
wujud aslinya tetapi hanya sebatas makna Wujud.
Proses Tajalli tersebut hanya bisa dicapai
melalui olah rasa seperti yang dilakukan oleh para sufi. Disitulah terjadi
fenomena eksistensial yang terjadi pada manusia yang beriman. Hal ini bisa
dibandingkan dengan buku Epistemologi
Tasawuf yang ditulis oleh Haidar Baqir, bahwa diskursif filosofis terkait
metafisika ketuhanan tidak akan dapat mewakili keseluruhan eksistensi Tuhan.
Bahasa sebagai alat komunikasi manusia, menurut Haidar hanya membantu pemahaman
manusia. Disinilah keterbatasan akal dalam merengkuh metafisika ketuhanan. Maka
ada titik temu antara buku Fahmi ini dengan Haidar Baqir.
Buku ini
menambah perspektif baru tentang problem metafisika ketuhanan. Telah banyak
para pakar seperti yang telah disebut di atas yang mengkaji pemikiran Ibnu
‘Arabi. Namun keunikan Fahmi disini, ia mendeklarasikan ketakberhinggaan
pemahaman terkait metafisika ketuhanan. Dengan waktu dan kedirian, manusia
terus berusaha merengkuh Wujud Tuhan dengan terus-menerus berada pada garis
paradoks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar