Total Tayangan Halaman

Sabtu, 04 Agustus 2018

Resensi Lampung Post, 05 Agustus 2018



Judul buku   : Ontosofi Ibnu ‘Arabi
Penulis           : Fahmy Farid Purnama
Penerbit        : Cantrik Pustaka
Cetakan         : Pertama, Februari 2018
Tebal              : 340 halaman
ISBN               : 978-602-6645-58-6
Peresensi      : Mahmudi*

PARADOKS METAFISIKA KETUHANAN

Metafisika ketuhanan yang dipelopori oleh Ibnu ‘Arabi telah mempengaruhi banyak akademisi untuk melakukan kajian terhadapnya. Pakar ilmu keislaman di berbagai belahan dunia turut serta mengkajinya. Hal itu tidak lepas dari kharisma Ibnu ‘Arabi sebagai pemikir besar muslim abad pertengahan.

Diantara pengkaji Barat adalah Henry Corbin, Louis Massignon, dan William C. Chittick. Mereka tertarik dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi terkait Wahdatul Wujud. Sedangkan diantara cendikiawan muslim, ada beberapa tokoh yang mengkajinya. Di Indonesia, Kautzar Azhari Noer merupakan akademisi yang melakukan kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi terkait tema panteisme. Dalam bukunya, Ibnu ‘Arabi: Wahdatul Wujud dalam Perdebatan, Azhari Noer menyatakan bahwa Wahdatul Wujud tidak sama dengan panteisme yang muncul di Barat. Panteisme terlalu ekstrim mengatakan bahwa alam ini adalah Tuhan. Panteisme cenderung menyamakan antara alam dan Tuhan. Paham panteisme tersebut dibantah oleh Azhari Noer.
Selain Azhari Noer, Muhammad al Fayyadl juga melakukan kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi. Ia meneliti Ibnu ‘Arabi dari perspektif teologi negatif. Ia membantah bahwa ilmu ketuhanan dapat dijelaskan secara positif-afirmatif. Hal itu dilakukan oleh para ahli kalam yang dikenal dengan teolog. Menurut Fayyadl, metafisika ketuhanan tidak dapat dijelaskan secara positif-afirmatif seperti yang dilakukan oleh para teolog. Tetapi sebaliknya, metafisika ketuhanan dapat diterangkan melalui cara negatif. Artinya, ibarat orang pasif, kita harus menunggu untuk memahami Tuhan.
Di Jepang, Toshihiko Izutsu juga melakukan kajian terhadap Ibnu ‘Arabi. Ia membandingkan paham Wahdatul Wujud dengan prinsip Taoisme. Hal ini membuktikan kualitas pemikiran Ibnu ‘Arabi yang sangat kental dengan mistik  serta berdimensi supranatural.
Dalam buku ini, Fahmy Farid Purnama berusaha mengkaji pemikiran Ibnu ‘Arabi dari perspektif lain. Fahmy berusaha menjelaskan permasalahan metafisika ketuhanan Ibnu ‘Arabi dengan perspektif fenomenologi. Uniknya, fenomenologi yang diambil oleh Fahmi bukan bersumber dari Edmund Husserl, namun dari Heidegger. Seperti kita tahu, fenomenologi Heidegger adalah fenomenologi interpretasi. Dalam metafisika ketuhanan, hal yang terpenting tentunya adalah pemahaman akan makna “Ada”nya Tuhan, bukan zat-Nya.
Fahmi seolah-olah menegaskan bahwa metafisika ketuhanan tidak dapat direngkuh hanya dengan pemahaman diskursif-teologis. Namun butuh pendekatan fenomenologis. Inilah gagasan Heidegger yang banyak dilupakan oleh akademisi. Fahmi menggagas temuan bahwa pemahaman terkait metafisika ketuhanan dapat dipahami dengan Via Paradoxa. Artinya, manusia tidak akan pernah bisa sampai dengan sempurna terkait pemahaman ketuhanan. Hal itu mirip dengan problem klasik seputar kapan lebih dulu antara ayam dengan telur. Ini problem teologis klasik yang tidak pernah sampai ke hakikatnya.
Lalu bagaimana caranya orang bisa sampai pada metafisika ketuhanan?. Fahmi hanya menjelaskan dengan menyetujui pendapat Ibnu ‘Arabi yaitu dengan cara Tajalli (penampakan wujud Tuhan pada manusia). Dengan proses Tajalli tersebut, manusia dapat merengkuh makna Wujud. Bukan kepada wujud aslinya tetapi hanya sebatas makna Wujud.
Proses Tajalli tersebut hanya bisa dicapai melalui olah rasa seperti yang dilakukan oleh para sufi. Disitulah terjadi fenomena eksistensial yang terjadi pada manusia yang beriman. Hal ini bisa dibandingkan dengan buku Epistemologi Tasawuf yang ditulis oleh Haidar Baqir, bahwa diskursif filosofis terkait metafisika ketuhanan tidak akan dapat mewakili keseluruhan eksistensi Tuhan. Bahasa sebagai alat komunikasi manusia, menurut Haidar hanya membantu pemahaman manusia. Disinilah keterbatasan akal dalam merengkuh metafisika ketuhanan. Maka ada titik temu antara buku Fahmi ini dengan Haidar Baqir.
Buku ini menambah perspektif baru tentang problem metafisika ketuhanan. Telah banyak para pakar seperti yang telah disebut di atas yang mengkaji pemikiran Ibnu ‘Arabi. Namun keunikan Fahmi disini, ia mendeklarasikan ketakberhinggaan pemahaman terkait metafisika ketuhanan. Dengan waktu dan kedirian, manusia terus berusaha merengkuh Wujud Tuhan dengan terus-menerus berada pada garis paradoks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar