Total Tayangan Halaman

Sabtu, 02 Maret 2019

Kabar Madura 1 Maret 2019


Di Indonesia, pengentasan masalah kemiskinan merupakan hal yang sangat penting. Data menyebutkan bahwa sekian persen dari negara ini, rakyat masih berada dalam garis kemiskinan. Kemiskinan tersebut terbagi ke dalam dua kelompok: Miskin Kronis dan Miskin Transient. Penduduk Miskin Kronis adalah mereka yang kurang lebih pemasukan tiap hari di bawah delapan ribu rupiah. Sementara Penduduk Miskin Transient adalah mereka yang memiliki pemasukan yang tidak menentu. Mereka merupakan pekerja yang tidak tetap. Pada tahun 2014, World Bank memperkirakan jumlah penduduk miskin transient di Indonesia berkisar 28,94 persen atau sebayak 64 juta jiwa (hal. 20).

Namun, dalam penanggulangan masalah kemiskinan, Pemerintah memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah metode statistik yang dipakai dalam melakukan survei penduduk miskin. Pemerintah terjebak pada data Penduduk Miskin Kronis. Sementara Penduduk Miskin Transient luput dari perhatian. Dalam mengentaskan kemiskinan, pemerintah tidak membedakan antara Penduduk Miskin Kronis dengan Miskin Transient. Padahal garis kemiskinan itu berbeda masing-masing penduduk. Akibatnya, program yang dijalankan pemerintah tidak optimal.
Buku yang ditulis oleh Djonet Santoso ini memberikan gambaran tentang aspek yang tidak tersentuh oleh pemerintah. Penduduk Miskin Transient itulah yang oleh Djonet dianggap luput dari perhatian pemerintah. 
Bagaimana cara mengatasi kemiskinan dengan efektif dan langgeng?. Salah satu cara menemukan jawabannya adalah dengan memilah dan mengurai gejala kemiskinan, sebab-sebabnya, jenis-jenisnya, dan opsi-opsi kebijakan. Melalui kajian ini, Djonet Santoso menemukan kurangnya perhatian dan pengakuan pemerintah kepada kelompok ini. Padahal jumlah mereka cukup besar. Kurangnya perhatian itu disebabkan kurangnya data-data tentang kelompok ini dan kurangnya kebijakan serta program untuk kelompok ini. Atas dasar kajian ini, Djonet Santoso menganjurkan agar pemerintah lebih memberi perhatian kepada penduduk miskin transient ini.
Ide kebijakan tersebut diambil oleh Djonet dari pemikiran Ravallion. Ravallion membagi penduduk miskin menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, adalah kelompok penduduk yang teridentifikasi selalu berada di posisi yang sama di bawah garis kemiskinan pada setiap periode survei. Ini dinamakan penduduk miskin kronis atau sangat miskin. Kedua, kelompok penduduk miskin yang pada survei sebelumnya diidentifikasi sebagai penduduk yang berada sedikit di bawah garis kemiskinan tetapi pada survei berikutnya, penduduk tersebut berada sedikit di atas garis kemiskinan. Ketiga, kelompok penduduk tidak miskin berdasar garis kemiskinan, sedikit diatas, tetapi pernah mengalami pergerakan ke bawah garis kemiskinan walaupun pada periode survei yang lain bisa saja teridenfikasi naik lagi. Kelompok kedua dan ketiga inilah yang disebut oleh Ravallion sebagai penduduk miskin transient (hal. 5).
Program penanggulangan kemiskinan dinilai berhasil jika mampu menurunkan jumlah penduduk miskin dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, harus ada fakta riil peningkatan jumlah penghasilan dan atau penurunan pengeluaran penduduk setiap tahun yang mampu mengikat pergerakan garis kemiskinan (hal 16).
Aspek penting yang mendukung tercapainya efektivitas strategi penaggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang terbuka dan akurat. BPS mengeluarkan data pada tahun 2015 yang mengelompokkan penduduk menurut status kemiskinan dalam kategori: Sangat Miskin (SM), Miskin (M), Hampir Miskin (HM), dan Rentan Miskin Lainnya (RML) (hal. 19).
Jika jumlah kelompok penduduk miskin transient cukup besar, bahkan lebih besar dari jumlah kelompok penduduk miskin kronis, seharusnya pemerintah juga memperhatikan, memahami, dan menangani masalah mereka. Kelompok penduduk miskin transient juga memiliki karakteristik  yang berbeda dari kelompok penduduk miskin kronis sehingga penanganannya pun harus berbeda dan dipisahkan.
Keberadaan kelompok penduduk miskin transient memang tidak mudah ditemukan dalam data penduduk miskin yang ada. Hal ini disebabkan BPS hanya menggunakan data cross-sectional dalam menghitung jumlah absolut dan relatif penduduk miskin. Metode longitudinal yang lebih bisa menyuguhkan data detail siapa dan mengapa bergerak dari satu periode survei ke periode survei berikutnya tidak digunakan pada survei survei BPS (hal. 342).
Untuk menanggulangi kemiskinan, sebenarnya pemerintah telah memiliki program, diantaranya: Program Keluarga Harapan, Bantuan Beras Miskin, Bantuan Langsung Tunai, Bantuan Siswa Miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Tapi program tersebut oleh Djonet dianggap tidak optimal, mengingat aspek miskin transient tidak terbaca oleh data.
Namun diantara kelemahan buku ini adalah tidak menyajikan data komprehensif yang berskala nasional, mengingat buku ini merupakan hasil riset di Bengkulu. Akibatnya, pembaca harus menebak dan mereka-reka problem nasional dalam kemiskinan. Selain itu, buku ini terkesan normatif. Penulis kurang kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun demikian, buku ini dapat memberikan solusi aternatif bagi pemerintah untuk dapat menanggulangi kemiskinan dengan serius. Setidaknya tawaran dari buku ini meliputi: strategi pendataan kemiskinan melalui metode longitudinal yang oleh Djonet dianggap lebih baik. Kemudian pemerintah memberikan kebijakan yang lebih memperhatikan kemiskinan transient. Tidak hanya fokus pada miskin kronis. Buku ini diharapkan menjadi jembatan strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar